by

Naiknya Iuran BPJS dan Gerakan Hidup Sehat

-Opini-771 views

Oleh : Erya Indy P., S.ST.

Wacana kenaikan iuran kepesertaan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya menemukan ujungnya. Presiden Joko Widodo resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen pada Kamis, 24 Oktober 2019. Semakin ramai topik ini dibicarakan, dari rumpian ibu-ibu hingga kajian-kajian di hotel berbintang. Banyak pihak mendukung adanya kenaikan ini. Namun tak sedikit pula yang menolaknya. Efektifkah kenaikan ini?

Kenaikan Iuran BPJS

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen terangkum dalam Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Kenaikan iuran BPJS rencananya akan diberlakukan sebesar dua kali lipat dari tarif yang berlaku saat ini. Kelas mandiri I akan naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per peserta per bulan, kelas mandiri II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per peserta per bulan, kelas mandiri III naik dari Rp 25.500 menjadi 42.000 per peserta per bulan. Kenaikan iuran ini akan diterapkan mulai Januari 2020 mendatang.

Kenaikan iuran BPJS sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan anggaran keuangan BPJS Kesehatan yang dilaporkan terus mengalami defisit anggaran dari tahun ke tahun. Di tahun ini bahkan diprediksi defisit yang terjadi bisa mencapai angka Rp 32 triliun. Hal inilah yang membuat pengambil kebijakan harus membuat keputusan pahit dengan menaikkan iuran kepesertaan BPJS. Bahkan banyak anggapan jika tidak dinaikkan, BPJS Kesehatan bisa mengalami kebangkrutan. Ibarat kata, hanya inilah satu-satunya jalan penyelamatan.

BPJS Kesehatan mencatat cakupan kepesertaan jaminan kesehatan nasional hingga tahun 2018 adalah sebesar 79,44 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Permasalahan kepesertaan ini ditengarai menjadi salah satu penyebab defisitnya dana BPJS, mulai dari NIK ganda, tidak memiliki NIK, hingga  isian kolom fasilitas kesehatan yang kosong. Selain itu, tunggakan iuran bulanan juga tercatat menjadi penyebabnya. Terlepas dari siapa dan apa sebab tunggakan iuran terjadi, hal ini akan mengganggu prinsip gotong royong yang menjadi landasan bagi pelaksanaan jaminan kesehatan nasional dimana yang sehat membantu yang sakit dan yang kaya membantu yang miskin.

Gerakan Hidup Sehat

Mencermati berbagai keluhan yang muncul, banyak pihak sebenarnya menginginkan adanya penyelesaian lain selain kenaikan iuran karena dirasa memberatkan masyarakat. Ditengah kondisi masyarakat yang semakin memprihatinkan, mulai dari kurangnya lapangan pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi, hingga masalah-masalah sosial lain, maka disahkannya kenaikan iuran BPJS kesehatan seolah menjadi mimpi buruk bagi rakyat yang selama ini mendamba hidup sejahtera.

Salah satu hal yang patut mendapat perhatian, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk yang memiliki keluhan kesehatan selama sebulan terakhir pada tahun 2018 adalah sebesar 30,96 persen. Selama beberapa tahun terakhir trendnya mengalami kenaikan. Keluhan kesehatan yang dimaksud meliputi karena penyakit akut, penyakit kronis (meskipun selama sebulan terakhir tidak mempunyai keluhan), kecelakaan, kriminal, atau hal lain.

Terungkap pula beban kesehatan negara untuk penyakit tidak menular masih cukup tinggi. Dari pencatatan BPJS Kesehatan terlihat bahwa beban biaya cukup besar pada penyakit-penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, ginjal, kanker, dan sebagainya. Riskesdas 2018 mencatat prevalensi penyakit-penyakit ini mengalami peningkatan. Prevalensi kanker berdasarkan diagnosis dokter meningkat dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 pada tahun 2018. Begitu pula dengan stroke yang meningkat dari 7 persen menjadi 10,9 persen pada tahun 2019. Sedangkan prevalensi penyakit jantung dan ginjal kronis pada tahun 2018 di Indonesia tercatat sebesar 1,5 persen dan 3,8 persen.

Penyakit tidak menular ini sebagian besar disebabkan oleh perilaku hidup yang kurang sehat seperti gizi yang kurang seimbang pada makanan sehari-hari, kebiasaan merokok maupun terpapar asap rokok, minum alkohol maupun kurangnya porsi olahraga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2018, rata-rata konsumsi buah dan sayur masyarakat Indonesia per minggu hanya 1,41 kg, jauh di bawah standar konsumsi buah dan sayur yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) yaitu 2,8 kg per minggu. Padahal konsumsi harian dengan cukup sayur dan buah itu sendiri menurut penelitian dapat menurunkan risiko penyakit jantung dan diabetes. Selain itu juga mampu menyehatkan mata, menurunkan tekanan darah dan memberikan perlindungan tubuh terhadap kanker. Perilaku merokok juga menjadi salah satu penyebab penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya. Meski kampanye stop merokok cukup sering ditemui, menurut Riskesdas 2018, jumlah perokok mengalami kenaikan di tahun ke tahun, bahkan pada penduduk usia muda. Prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun naik menjadi 9,1 persen pada tahun 2018. Angka ini justru semakin menjauh dari target RPJMN 2019 yang sebesar 5,4 persen.

Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini akan dapat menurunkan tingkat produktivitas bangsa dan perekonomian negara. Upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit perlu menjadi pilihan untuk diprioritaskan. Gerakan masyarakat hidup sehat harus semakin digalakkan untuk mencegah menjamurnya penyakit-penyakit tak menular dalam masyarakat. Selain mengurangi jumlah penduduk yang sakit dan meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat, gerakan masyarakat hidup sehat dapat membantu mengurangi biaya pengobatan yang memberatkan tanggungan BPJS Kesehatan.

Meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat akan mampu mengurangi penggunaan fasilitas BPJS. Harapannya pada masa mendatang kondisi program jaminan kessehatan kita akan semakin baik dan tidak terjadi lagi kenaikan-kenaikan yang memberatkan rakyat.

*) Erya Indy P., S.ST.

Statistisi Pada BPS Provinsi Papua

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *